The proposed Pornography law is to be passed next week, and grumblings from Bali.
The proposed anti-pornography law, which once was called
RUU Anti-Pornografi & Pornoaksi (RUU APP)
but later changed to
RUU Anti-Pornografi
and now just
has been in the committee stage of deliberation for over two years, but is now likely to be passed into law on September 23rd, as, some of its supporters say, a Ramadan gift for Muslims. jakartapost
The bill is primarily supported by:
Most other parties generally support it while two are entirely opposed and have walked out of the deliberation sessions on the bill in protest, they being:
Agus Sasongko of the PDI-P says his party has washed its hands of the bill and will not be held responsible for it, while Tiurlan Hutagaol of the PDS says the bill threatens to bring on the disintegration of the nation, because it leaves much unclear and if it is enforced in the wrong way. kompas
Mahfudz Siddiq of the PKS says however that the bill is much less controversial now and is mainly focused on dealing with the pornography industry and on protecting children, and is much less concerned with “pornoaksi“, – public morality or public indecency. detik
Much of the opposition comes from non-Muslim parts of the country, especially Bali, where Made Sudira, a columnist, thunders beritabali
It’s a stupid law, why do they want to legislate on morals, why do they want to blame women, is it a crime to have a vagina?
The Governor of Bali, Made Mangku Pastika, says the opposition to the bill in Bali has been continual since 2006, and he firmly rejects the proposed law. surya
The Pornography bill was passed into law on October 30th. Two parties, PDI Perjuangan (PDI-P) and Partai Damai Sejahtera (PDS) staged a walk out at voting time, while the Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) finally agreed to support the bill, with reservations.
Here is the full draft of the bill –
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
2.Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3.Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
4.Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
5.Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6.Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasal 2
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.
Pasal 3
Pengaturan pornografi bertujuan:
a.mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
b.memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
c.memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan
d.mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat:
e.persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
f.kekerasan seksual;
g.masturbasi atau onani;
h.ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau
i.alat kelamin.
(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.
Pasal 5
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan.
Pasal 7
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 8
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 9
Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Pasal 11
Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.
Pasal 12
Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.
Pasal 13
(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.
(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.
Pasal 14
Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai:
a.seni dan budaya;
b.adat istiadat; dan
c.ritual tradisional.
Pasal 15
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PERLINDUNGAN ANAK
Pasal 16
Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.
Pasal 17
1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
2) Ketentuan mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PENCEGAHAN
Bagian Kesatu
Peran Pemerintah
Pasal 18
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 19
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah berwenang:
a.melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
b.melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan
c.melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 20
Untuk melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah Daerah berwenang:
a.melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;
b.melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;
c.melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan
d.mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya.
Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat
Pasal 21
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 22
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat dilakukan dengan cara:
a.melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
b.melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c.melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pornografi; dan
d.melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 24
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 25
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada:
a.barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, atau bentuk penyimpanan data lainnya; dan
b.data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.
Pasal 26
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang diminta penyidik.
(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.
Pasal 27
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.
Pasal 28
(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas perkara.
(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus.
(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.
BAB VI
PEMUSNAHAN
Pasal 29
(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.
(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a.nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi;
b.nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c.hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d.keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 30
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 31
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 32
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 33
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 34
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 35
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 36
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 37
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 38
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai obyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Pasal 39
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 40
(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang‑orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama‑sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi agar pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.
Pasal 41
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenakan pidana tambahan berupa:
a.pembekuan izin usaha;
b.pencabutan izin usaha;
c.perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan/atau
d.pencabutan status badan hukum.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.
Pasal 43
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 44
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
PENJELASAN:
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “persenggamaan yang menyimpang” antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat dan binatang, oral seks, anal seks, lesbian, homoseksual.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”kekerasan seksual” antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan, pemerkosaan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “mengesankan ketelanjangan” adalah penampakan tubuh dengan menunjukkan ketelanjangan yang menggunakan penutup tubuh yang tembus pandang.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “mengunduh” adalah mengalihkan atau mengambil fail (file) dari sistem teknologi informasi dan komunikasi.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan” misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya.
Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga dimaksud.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan “mempertontonkan diri” adalah perbuatan yang dilakukan atas inisiatif dirinya atau inisiatif orang lain dengan kemauan dan persetujuan dirinya. Yang dimaksud dengan “pornografi lainnya” antara lain kekerasan seksual, masturbasi atau onani.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pembuatan” termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan.
Yang dimaksud dengan “penyebarluasan” termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan.
Yang dimaksud dengan “penggunaan” termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau menyimpan.
Frasa “selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)” dalam ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, pakaian olahraga pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “di tempat dan dengan cara khusus” misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “materi seksualitas” adalah materi yang tidak mengandung unsur yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau tidak melanggar kesusilaan dalam masyarakat, misalnya patung telanjang yang menggambarkan lingga dan yoni.
Pasal 16
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemblokiran pornografi melalui internet” adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.
Pasal 20
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemblokiran pornografi melalui internet” adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.
Yes, this is another MAJOR ACHIEVEMENT of our government that is a ‘clear indication’ of the ‘improvement’ of Indonesia in general.
Way to go, huh?
Makes me sick and consider why I still hold on to the green passport.
This main problem is the definition of pornography.
Anyway, if this bill is passed, I support Bali and Papua independence. Being controlled by Islamic Javanese won’t bring any good.
It is treasonous betrayal of Pancasila by the Islamics.
Did we not warn the West democracy was not possible in Indonesia?
Perhaps now they see the peerless wisdom of Nasution’s Dwifungsi parliamentary military bloc?
two are entirely opposed and have walked out of the deliberation sessions on the bill in protest, they being:
* PDI Perjuangan (PDI-P)
No wonder it’s max moein’s party after all…..
Patung…
Where did the draft come from?
Well PN we voted these cows into parliament so I guess it’s business as usual.
Western Democracy CAN work in Indonesia, but only some parts of it because of the lack of political maturity among Indonesians in general.
But let’s face it. This Bill is just a distraction from the many real problems of Indonesia.
Think Corruption. Lapindo victims and perpetrators. Minority rights. Citizenship rights. AND Religious Freedom. Fresh from the Constitution.
And I couldn’t bother reading the Bill anyway because of its sheer stupidity. At least PDI-P was right.
This bill is merely a distraction from the real problems of Indonesia.
Poverty. Corruption. Consitutional Rights. Lapindo injustice. And now, inflation and cost of living. And food safety.
Agree with Purba but don’t think Pancasila is foremost in the minds of Islamics. Nationalists are common in Indonesia but love of their religion comes in at number 1. The nationalist hat only comes on when they meet bules / chinese etc but amongst themselves they would take Allah over country anyday. You only have to see how quickly Islam spread across the country in the first place to see how easily people have been brainwashed. And the way they fawned over Abu Bakar Bashir and believed it was a western plot to arrest him. These people don’t have the stomach to fight terrorism. They also fail to see how it is destroying their country.
Enigmatic also makes a very good point. Populist moralising is a ploy used by failed politicians to detract attention away from their failings. And a walk around Jakarta for a day can highlight many of them.
I agree with Sylvester. The definition of pornography in this bill is still too broad. In fact, it is dangerous & could be misued. I agree that pornography should be regulated, however, regulation that is mainly put on prohibition could be misleading and misused, especially with such definition that can be applied to any condition & situation by any media.
Some reliefs in Borobudur temple, for instance, are showing half naked women and men that could arose any dirty minds, pls see this website for refference (impressive photo collection by Gabisa Motonia 😉 ) http://www.flickr.com/photos/gabisa_motonia/sets/72157594306897978/
Does it mean the temple should be banished due to its sexual provocative reliefs then?
This is only one sample from Java Island, and how about Bali & Papua with their unique arts & culture? Bali and Papua are the only areas that popular nowadays to foreign tourists (Papua with its Raja Ampat could be the next leading underwater tourism in the world).
This bill has to be reviewed before publishing. Seriously.
I have published several negative impacts of this law. Thanks to Rima for the translation.
The link is yalun.wordpress
Feel free to comment
You guys have now 5 weeks to destroy your porns at home, in your harddisks, and your iphones; or else risk 4 years jail in Cipinang. The law applies to bules as well 😀 😀 unless you have immunity.
(And I really want to know what’s in the harddisks of our parlementarians; this is supposedly not too hard to hack in)
This is also bye bye to Inul. She will risk 10 years jail.
Strangely porn producers and distributors can get away with just 1 year.
Article 21 is worrying, as it gives the political permission to citizens to actively participate in prevention of porns … Some may interpret this rather extremely.
Out of curiosity will holding hands and innocent gestures of love like that get you sent to jail? Also is there a way people can stop this bill from passing?
I am deeply concerned with the unity of Indonesia right now. This will further strained the already tense ethnic and religious relationship in Indonesia. I hope im wrong but i can imagine the different provinces and islands screaming for special autonomus region, or to the extreme independence.
I agree with PN, Indonesia is not ready for democracy just yet. when most of its citizens are still lack the education coupled with a low level of living standard, how could we expect them to pick the ‘right’ choice.
I was actually a little surprised, this bill does have some redeeming features. As far as I am aware, child pornography is not a crime in Indonesia. This bill sets out pretty clear punishments for anyone involved in the sexual exploitation of anyone under the age of 18. I certainly don’t expect them to be enforced properly by the police, but even the threat of being hauled in to the police office and being forced to pay a huge bribe will hopefully deter some lowlifes.
That said, the bill is disturbingly vague in a number of key areas… That section on the responsibilities of the general populace in enforcing the bill could easily be used by FPI and their ilk in justifying their violent rampages.
How did this suddenly come back to life after being shelved for so long? Here’s to hoping it disappears again… This time permanently.
Article 21 is a problem for sure…
Article 21 is actually the main problem of the bill. Does give rise to the possibility of FPI-like ‘citizens arrests’ or perhaps, more accurately, ‘attacks’. Then again 22 (1) sets out what society’s ‘role’ in preventing pornography is, though once again I think the third point there is a little vague. But once again this has a stopper on it in the form of 22 (2) which says that any action taken by society must be responsible and within the law (so, technically speaking, smashing things up on an FPI scale, according to the law itself, is still not on).
For those asking about (and getting themselves worked up over) what it means for cultural things like in Bali, Papua, Javanese kebaya or the reliefs in Borobudur, read the draft bill, article 14. As long as it has artistic or cultural value its fine. Its right there. Might help if you read past article one (which it appears at least some people are not doing).
As broad as the law is, I would be very surprised if there ends up being a mass waves of people being arrested by the authorities for wearing tight clothes or showing affection in public. The fact that some are hyperventilating about that speaks more about some people’s paranoia than anything else. Once again the main concern is not so much the state itself in this regard but rather ‘civil society’ (or perhaps rather ‘uncivil society’ as its been said once) in some areas jumping on people for this, and to be honest they’ve been doing it with or without the law in place anyway.
Two things I’d note about the law: 1. To be perfectly honest if you only read one or two of the (most interesting) articles in the law, it does look god awful and dangerous. However if you read the thing in totality, at least technically speaking, there are enough checks on it such that it really is, as the PKS guy said, focused more on actually pornography itself rather than the whole array of cultural practices, everyday clothing and behaviour (what was previously being called ‘pornoaksi’) which some think it is. The main problem of course will come in its enforcement (in terms of police) and in its execution (in terms of judges).
2.There is one thing which no one else has mentioned, but because its something I normally like to keep an eye on, I will. Without a doubt part of the reason it is being rushed through is because the PKS in particular needs a big political splash to shore up its core supporter base for the election next year. The line about it being a ‘ramadhan gift’ to Muslims is only half true in the sense its more accurately a ‘ramadhan gift’ to PKS supporters. The party has been making a lot of overtures about opening itself up to non-Muslims and having a more open political platform, and I dare say that they’re concerned that it might alienate their core support base. Bringing in something largely unimportant (as people have said, Indonesia’s got bigger problems on its hands than pornography), but with high symbolic religious value is a good way of doing that. Much like the syariah bylaws brought in by some regents and mayors on the local level (wondering why you haven’t heard much about those recently? largely because most are inactive, and new ones aren’t being brought in – the wave of them a few years ago was tied more to election campaigns than any real conviction to ‘talibanize’ Indonesia or whatever), this is more of a politically motivated bill in the lead up to an election campaign.
Djoko, you’re the lone voice of reason. Thanks! Substantial changes have been made to the last draft. There is no pornoaksi anymore and the focus is the production and distribution of pornographic material.
Djoko, I believe this is also SBY’s gift to PKS. He wants to maintain PKS support for the 2009 elections and letting them get the Porn Bill is just the way to do it.
Thanks for clarification, Djoko! I was annoyed by first reading the term of pornography as described in the beginning. I will go through the bill as I have more time.
I wonder what’d PDI-P’s political motive for rejecting the RUU Pornography? Nevertheless, they’ve won my vote I guess..
Word on the street is that PDI-P is no longer rejecting the bill but has struck a deal with the PKS to support it with a view to considering alliances through the 2009 election process
The law is scary for its vagueness and perhaps not so scary on its intent. However, the vagueness is a problem on a number of levels. Perhaps most problematic is going to be interpretation.
There are exception provisions strewn throughout the bill. These too are vague. The elucidations or explanations are not that helpful in indicating how the provisions might or should or must be interpreted.
Article 22 does in fact modify Article 21 and would seem to limit how the community might prevent pornography. It also states that citizens will have to be responsible for their actions and that these actions will be judged under prevailing laws. Nevertheless, that applies only to (a) and (b) of Article 21(1). Points (c) and (d) are considered to be unproblematic although the elucidations do not indicate what socialization and guidance might entail.
There are other problematic articles as indicated by others…no need to rehash those points again.
The issue really is going to come down to enforcement. How serious is the government in not only passing this law and ensuring its subsequent enforcement? Time will tell on this one. However, my guess would be that even if the government was not serious about enforcement it is likely that community groups so inclined could force the government’s hand through Articles 21 and 22.
Article 22 is in no way restricting 21. It just appears to be so. It lists down what things people can do to implement 21:
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
dapat
dilakukan dengan cara: …
But it “forgets” to say that 22 is the only possible implementation.
Andy- you make excellent intelligent positive comments this time.
A very pleasant change, and most refreshing.
Your comment about popularism hit the nail first time.
We also see this in the West with George Bush cuddling up to Christian Coalition and Howard to Church Groups and Blair to Anglican Church and heen Catholic Church group.
wonder what’d PDI-P’s political motive for rejecting the RUU Pornography? Nevertheless, they’ve won my vote I guess..
PDI has a huge support base in Bali, where the bill is not supported.
Janma- the issue is Realpolitik.
PDI-P is chasing the demographic that see Islamic vales as the virtuous polar opposite of current secular politics.
This numerically enormous demographic of such Kampung people are children’s minds in adult bodies- their comprehension of things, world views, perspectives etc are totally different to us [exclusive] as we’ve had the benefit of good secular education and travel.
This is not superiority issue or condescension as the West commonly errantly claims- it is merely acceptance of unfortunate realities- the great unwashed are also the great unread and the great unthinking.
Churchill’s humourous comment, “the best argument against democracy is a 5 minute conversation with the average voter” is superbly appropriate for Indonesia.
The Rakyat are children- especially those of Java- they should not ever be left to their own devices without adult (us) supervision. they are naive, small minded and ignorant- they MUST be ruled with an iron hand otherwise they’ll get themselves into an awful self-destructive mess- as we see today.
Although Bali is strategic and an important demographoc- strategically it is better move for PDI-P to attract this kampungan demographic from Java and Sumatera- very simply more votes= Real politik. So Bali is then an acceptable loss.
Primary Drive…
Matter of interpretation on Article 22. It would seem to restrict what role the community can play in “preventing” pornography from entering the community and removing it once it is found.
The bill is pretty clear that Article 21 is not a stand alone article. The vagueness relates to (c) and (d) in Article 22 and how the issues of socialization and guidance are to be defined.
Furthermore, it would seem that any actions taken by the community require that they comply with prevailing laws and those taking any actions are responsible for those actions.
In this sense then the real issue is whether or not the government is serious about not only the implementation of the provisions but their enforcement as well.
PN…
Not bad translation work!
Not bad translation work was a compliment by the way!
We also see this in the West with George Bush cuddling up to Christian Coalition and Howard to Church Groups and Blair to Anglican Church and heen Catholic Church group.
Worked for a small percentage of voters. The rest rode on the wave of good economic times which we had from 1992 – 2007. Howard has gone and the Americans voted for a democratic congress. The Presidential election will be very interesting indeed.
But noone can say any politician in the west has been elected on a religious platform. Law and order and economy rules the roost all the time.
Yes, thank you, Mr. Purbo Negoros !
Copyright Indonesia Matters 2006-2023
Privacy Policy | Terms of Use | Contact
this bill actually going to be passed? Are they serious? way to go Indonesia, The judicial system is not suppose to police ‘qeustionable’ moral behaviour. We have religion to police moral!.
This bill will further disintegrate the nation.
this bill suppose to be the diluted version of the original RUU-APP. could someone please enlighten me on the “dilution”? and how this will affect culture and tradition of people such as Papuan, Balinese, etc.