Ross memberikan saran mengenai bepergian naik bis dan protes terhadap orang yang berpandangan bahwa jaringan transportasi umum di Jakarta tidak aman.
Beberapa minggu yang lalu, artikel pendek tentang berbahayanya bepergian dengan kendaraan umum di Jakarta muncul di Jakarta Post. Saya kehilangan artikel aslinya karena terlalu sibuk mencorat-coret, tapi saya takjub dengan nada paranoia artikel tersebut dan berjanji untuk menulis komentar saat ada waktu.
Tarif bis tetap murah, walaupun harganya sudah naik, dan saat jalan macet – apa untungnya membayar argo yang mahal cuma untuk duduk di taksi? Bukannya lebih baik membayar Rp 6000 dan berbagi rasa jengkel dengan orang yang duduk disamping? Ini juga bisa digunakan untuk meluaskan lingkaran pergaulan.
Untuk saya yang menggunakan sedikitnya dua angkot seharinya, juga bis AC dan bis biasa, tergantung mana yang datang terlebih dulu, saya merasa ketakutan si penulis mencengangkan. Sarannya sampai sejauh jangan menggunakan telepon selular di bis kalau tidak mau dirampas oleh preman. Benar-benar omong kosong.
Hampir selama 90 menit perjalanan, saya selalu menggunakan telepon selular saya. Begitu juga penumpang lainnya. Saya juga menggunakan kamera digital saya yang baru di bis juga halte bis dan terminal termasuk di Blok M, untuk memotret metro-mini yang mengebut tidak takut mati. Sampai saat ini, tak ada barang saya yang tercuri di daerah-daerah ini.
Tentu saja kadang bisa terjadi – suatu hari saya berdesakan dalam angkot 11 dari Terminal Bekasi dengan gerombolan pencopet dan komplotan berjilbabnya, tanpa disadari tas saya dirogoh. Tapi tetap saja, tidak masuk akan untuk membesar-besarkan bahayanya. Saya kecopetan dua kali dalam ribuan perjalanan yang pernah saya lakukan. (Tidak dihitung perjalanan pertama saya dengan Metro-Mini, 48 jam setelah tiba, dan kacamata saya dicopet dari kantong jaket – saya menganggap itu proses belajar.)
Penulis Jakarta Post benar dengan pernyataannya bahwa kita harus berhati-hati..
Kedua kali berhadapan dengan penjahat Bekasi saya berteriak ‘copet’ dan 4 orang melompat dari kendaraan. Kalau ada yang berusaha melawan mereka, tunjukan solidaritas, hal buruk yang mungkin terjadi akan dikalahkan. (Pegawai kantoran bisa belajar dari cerita kampung, yang salah akhirnya habis ditangan massa)
Penulis artikel tersebut tidak kelihatan mendukung kesadaran social. Penulis menyatakan hanya busway saja yang bisa disarankan. Walau kriminal juga beroperasi di Busway juga, dan hal seperti inilah yang membuat kita ketakutan satu sama lain, mengurangi kebahagiaan dari hidup di Jakarta.
Artikel ini diterjemahkan oleh Lyn dan Anna dari versi bahasa Inggris – Jakarta Public Transport.
Menurut saya, kehidupan transportasi di Jakarta sedang dalam rekonstruksi massal yang membutuhkan waktu dan kesadaran semua elemen transportasi (penumpang, pihak pemerintah daerah setempat dan provinsi). Menurut saya, orang-orang di Jakarta ramah dan kalaupun ia preman masih bisa diajak bicara kok asalkan kita tidak meremehkan orang tersebut. Mungkin hanya orang-orang yang merasa kaum atas yang takut terhadap transportasi umum, padahal pada prinsipnya adalah kesamaan membuat orang lebih tenang jika bertemu orang lain walaupun preman. Mungkin ada perbedaan tapi jangan ditonjolkan. Above all, saya tetap mengharapkan perbaikan massal sistem transportasi umum di Jakarta, Indonesia.
Bahagia seperti apa bagi para penduduk Jakarta sebenarnya? Dan kesadaran sosial apa yang dimaksudkan di sini? Persentase-nya mungkin kecil sekali. kalaupun terjadi, bisa muncul main hakim sendiri. Sekedar informasi pengalaman pribadi, saya mengalami pelecehan di transportasi umum berkali-kali dan setiap kali saya memaki-maki pelakunya tidak ada satupun penumpang yang membantu saya. Adik saya ditodong dengan pisau dalam metro mini dan kondektur pun tidak berani membantu.
Saya mendukung artikel di the Jakarta Post karena memang itulah kenyataan yang terjadi di Jakarta. Ini bukan masalah kalangan ekonomi menengah atau atas atau lemah, tapi memang kondisi kota Jakarta sudah parah untuk ditinggali untuk kalangan ekonomi manapun! Waktu saya di Indonesia, saya sering ngobrol dengan supir taksi dan kondektur bis, dan mereka menyatakan betapa stress-nya kehidupan sehari-hari mereka menghadapi macetnya jalanan dan penumpang yang terlalu banyak belum lagi ancaman-ancaman setoran untuk kelompok preman tertentu. Jadi, bila ada perbaikan dalam sektor publik, yang mana dinikmati oleh mayoritas pendudukan ekonomi menengah ke bawah, maka imbasnya juga kepada kalangan ekonomi lemah. Pertama-tama kita harus mengakui bahwa kota Jakarta sudah tidak layak untuk ditinggali, tanpa pengakuan atau kesadaran atas hal tersebut, Jakarta tidak akan pernah ada perbaikan. Tidak akan pernah ada motivasi untuk memperbaiki kota Jakarta!
Jakarta sudah dikategorikan sebagai kota termahal di SEA setelah Singapura tapi fasilitas publik jauh dari memadai ditambah jumlah kriminal yang terus menyubur di setiap sudut kota.
Sudah saatnya untuk memindahkan ibukota ke kota lain.
Soalnya= tidak cukup duit.
Solusi= duit.
Mudah dong.
Copyright Indonesia Matters 2006-2023
Privacy Policy | Terms of Use | Contact
Ganti Gubernur sama saja. Apa yang beda !!